1 komentar Selasa, 09 Desember 2008

Septi Widiyanti

Sekretaris Umum JIMMKI Pusat periode 2007-2009

______________________________________________

Warga nelayan di kampung pesisir pantai utara Jakarta saat ini seakan tak bisa berbuat banyak ketika rumah mereka selama beberapa bulan belakangan ini terrendam air laut. Perkampungan nelayan yang berlokasi di sepanjang pesisir utara Jakarta itu kerap digenangi air tidak hanya saat musim hujan tiba tapi juga saat air laut pasang. Sebagian warga mengeluhkan kondisi itu yang telah berlangsung selama setahun belakangan ini. Hampir seluruh aktivitas rumah tangga, mereka lakukan dengan menggunakan sumber air yang sama yaitu air laut.

Itulah sekelumit fakta yang terjadi di pinggiran kota Jakarta yang mengantar isu kontroversial reklamasi. Ya, reklamasi. Reklamasi merupakan proyek besar pemerintah untuk memanfaatkan wilayah perairan demi memperluas hamparan dataran pulau-pulau yang diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi dan bisnis. Berdasarkan Kepres No. 52 tahun 1997 yang mengalami perubahan menjadi Kepres No. 54 tahun 2008 tentang Tata Ruang kota Jabodetabek, pemerintah atau dalam hal ini Pemprov DKI mengupayakan pembangunan pulau-pulau dengan memperluas daerah pesisir untuk difungsikan bagi proyek-proyek bisnis yang mendatangkan keuntungan menjanjikan. Upaya tersebut terwujud dengan disulapnya kawasan peisisr menjadi areal privat berupa pemukiman mewah dan apartemen megah. Menurut informasi narasumber, telah terbangun areal seluas 11 ha yang diperuntukkan bagi pembangunan apartemen dengan total investasi mencapai 3,5 triliun rupiah. Suatu angka yang tidak kecil untuk sebuah investasi jangka pendek. Pembangunan apartemen tersebut bukan tidak mengindahkan peran Pemprov DKI dalam pemberian ijin dan monitoring pelaksanaan pembangunan. Justru dengan telah terbangunnya bangunan-bangunan megah di atas areal reklamasi tersebut semakin meyakinkan akan peran Pemprov yang turut andil dalam mendukung pembangunan sarat kontroversi itu yang sifatnya privat. Sebagaimana tujuan reklamasi yang diharapkan adalah pembangunan yang hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh elemen masyarakat atau pembangunan yang bersifat publik bukan pembangunan yang sifatnya privat yang hanya dapat dinikmati oleh elemen masyarakat tertentu saja.

Jika dilihat dari keseimbangan ekosistem lingkungan, proyek reklamasi sangat berpotensi merusak ekosistem lingkungan. Dampaknya bisa langsung terlihat dari bencana alam yang sering bertandang mengancam Kota Jakarta seperti banjir yang menjadi tamu rutin setiap tahunnya. Belum lagi kawasan hutan bakau yang semakin menyusut dikarenakan perluasan dataran untuk pembangunan gedung-gedung dengan memanfaatkan kawasan pesisir pantai. Dengan demikian tak dapat dielakkan lagi, air laut akan semakin melaju memasuki wilayah dataran atau yang disebut dengan intrusi air laut. Dampak nyata yang sedang hangat dibicarakan saat ini adalah isu kekeringan yang melanda sebagian wilayah Kota Jakarta. Seperti kasus di Jakarta Timur misalnya. Sebagian warga di beberapa kecamatan mulai memperdalam sumur mereka karena sumber air yang semakin terkuras.

Selain itu dilihat dari distribusi airnya, proyek reklamasi ini akan berdampak masuknya air laut pada 13 kanal yang ada di sebagian besar wilayah Jakarta. Tentu saja hal tersebut semakin memperparah kondisi dataran Jakarta yang hampir bahkan sudah melampaui angka 0 m di bawah permukaan laut. Aspek sosial masyarakat pun terkena imbasnya, sumber ekonomi para nelayan yang sudah bertahun-tahun menggantungkan hidupnya dari melaut harus menurun diakibatkan habitat ikan yang semakin terancam kelestariannya.

Rupanya pemerintah lupa akan pentingnya menjaga ekosistem lingkungan demi terciptanya kesinambungan alam itu sendiri. Faktor ekonomi dianggap lebih responsif dalam menjawab tantangan masa depan bangsa. Padahal kita tidak tahu apakah profit yang didapat dari investasi besar-besaran itu sebanding dengan kerugian yang akan muncul sebagai dampak buruk bagi kelestarian lingkungan hidup kota Jakarta. Saat ini sedang dilakukan penelitian tenatng besarnya dampak yang diakibatkan dari proyek reklamasi tersebut. Hasil dari penelitian tersebut akan diajukan sebagai bahan penolakan pembangunan reklamasi yang terus bertambah. Tugas para akademisi saat ini adalah bersikap kritis dan turut menyuarakan ketidakadilan yang dialami masyarakat yang notabene berada pada kaum marjinal yang lemah dalam menyalurkan aspirasi mereka. Semoga dengan kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki seorang yang argumentatif berbasis intelektualitas dapat membantu memecahkan setiap permasalahan yang mengancam kemajuan bangsa ini.

0 komentar

Muhammad Robbi Qawi

Sekretaris Jenderal JIMMKI Pusat periode 2007-2009

______________________________________________

Seberapa sukses jalannya sebuah pemerintahan, berdasarkan rumus umum di masyarakat, yang menjadi tolak ukur kesuksesan pemerintahan adalah tidak perlu antri minyak tanah, harga sembako relatif stabil dan terlihatnya hasil pembangunan berupa sarana dan prasarana.

Dengan parameter-parameter tersebut, wajar bila kemudian kematian Presiden Soeharto (masih) diikuti tangis jutaan rakyat Indonesia. Tangis diberikan untuk Sang bapak pembangunan yang meninggal disaat perkara terhadap tuntutan hukum atasnya belum selesai. Tokoh korupsi nomor wahid di dunia ini di dakwa atas banyak kejahatan kemanusiaan yang diakukan selama 32 tahun pemerintahannya. Banyak yang terdhalimi selama pemerintahan Soeharto, tapi lebih tidak sedikit atau lebih banyak lagi yang merasa “berhutang budi” terhadap bapak Presiden. Terbukti berdasar hasil riset bahwa 60 % masyarakat Indonesia berpandangan baik terhadap Soeharto.

Pemikiran demikian lahir sebab masyarakat lebih merasakan kenyamanan pada era rezim Soeharto. Pada saat itu, konsumsi tercukupi bahkan Indonesia berhasil swasembada pangan. Pembangunan terjadi dimana-mana dan karenanya Soeharto dibai’at menjadi bapak pembangunan. Lapangan pekerjaan banyak dibuka serta ekonomi secara mikro dan makro membaik sejak inflasi ekonomi melemah mencapai 700 % di akhir kepemimpinan presiden Soekarno.

Soeharto Pahlawan Atau Guru Bangsa

Oleh karena kondisi ekonomi yang rapuh pada awal pemerintahan Soeharto, kebijakan pembangunan perekonomian menjadi prioritas utama. Semua aset negara di manfaatkan untuk memulihkan kondisi ekonomi. Salah satu aset strategis yang digunakan untuk menjadi modal pembangunan adalah hutan. Sebab hutan merupakan sumber daya alam yang bernilai ekonomi tinggi serta hutan tropika Indonesia luasnya mencapai 120 Juta Ha. “Pengurasan” hutan dilakukan oleh Soeharto dengan kebijakan “membagi-bagikan” hutan kepada investor dalam dan luar negeri melalui kebijakan HPH ( Hak Pengusahaan Hutan). Sampai tahun 1990-an hutan menjadi primadona, dengan menjadi penyumbang devisa terbesar bagi negara dari sektor non migas.

Dengan dana yang didapat dari pengeksploitasian hutan tersebut, negara melakukan proses-proses pembangunan. Kita menebang pohon-pohon di hutan untuk membangun pohon-pohon beton. Alhasil penampakan kota menjadi menawan dan di sisi lain hutan menjadi kawasan gundul. Mengingat hal tersebut bila sampai Soeharto di berikan gelar sebagai pahlawan atau guru bangsa, aktivis lingkungan adalah yang paling berteriak lantang menolak. Sebab Soeharto dengan paradigma pembangunannya, merupakan tersangka utama atas rusaknya ekosistem hutan Indonesia. Telah hancur sekitar 60 juta Ha hutan Indonesia, selama era pemerintahan Soeharto.

Untuk mendapatkan sebuah capaian kemajuan layaknya era kepemimpinan Soeharto, tidaklah di butuhkan orang-orang pintar. Tebang-jual, tebang-jual, demikian pola kita mendapatkan uang. Dengan mekanisme tersebut, sampai kapan alam dapat menyuapi manusia?. Hal tersebut sama halnya dengan kita membiarkan generasi yang akan datang hidup kelaparan, sebab tidak ada lagi yang dapat menyuapi mereka. Pengelolaan yang dilakukan oleh orang pintar adalah pembangunan yang ada berusaha memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Antitesa Pola Pembangunan

Antitesa sejarah demikian ungkap Anis Matta (Sekjend Partai Keadilan Sejahtera), menilai jalannya roda pemerintahan kita. Orde baru hadir dengan mengecam kebijakan orde lama dan orde reformasi muncul dengan menolak ide orde baru. Ditambahkan oleh Anis Matta bahwa kita hidup pada masa ini dengan dendam atas masa lalu. Akibatnya kita tidak pernah dapat melihat sejarah secara utuh. Untuk kemudian diambil sebagai pelajaran, atas perilaku tiap episode sejarah sehingga kita akan menjadi bangsa yang maju dan terus melangkah ke depan.

Bangunan “bangsa reformasi” telah dibangun dengan meruntuhkan seluruh bangunan “bangsa orde baru”. Sama artinya dengan kita memulai bangunan peradaban Indonesia ini dari “0” kembali. Bila demikian tepat kiranya bahwa dikatakan bahwa Indonesia telah merdeka 10 tahun. Pada zaman reformasi kita terlarang menggunakan produk orde baru. Bukan karena produk “bangsa orde baru” salah ataupun jelek. Adalah karena produk tersebut berasal dari orde baru. Demikianlah politik dinasti ini terus bergulir di Indonesia.

Tulisan ini tidak membahas layak tidaknya Soeharto mendapat gelar pahlawan dengan menilai segala prestasi baiknya dan menghitung dosa-dosanya. Yang menjadi garis bawah adalah kita menjalani saat ini dengan berdasarkan penolakan terhadap hal-hal yang ada dan berlaku pada rezim terdahulu. Contoh riil antitesa sejarah tersebut adalah sentralisasi menjadi desentralisasi. Sistem sentralisasi yaitu di monopolinya kewenangan pengelolaan oleh pemerintah pusat. Oleh karenanya reformasi menuntut untuk pemerintah pusat tidak memonopoli kewenangan ( desentralisasi). Sejak Januari tahun 2000 berdasarkan UU. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, pemerintah daerah menjadi memiliki kewenangan (lebih) untuk mengatur urusan rumah tangganya.

Diharapkan peran serta daerah dalam pengelolan hutan dapat meningkatkan pengawasan hutan sehingga hutan lebih terjaga. Serta dapat melibatkan masyarakat sekitar dan memberi dampak langsung bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Sudah hampir 10 tahun perjalanan otonomi daerah, tapi ternyata tidak juga menunjukkan adanya arah kemajuan tercapainya tujuan pengelolaan hutan yaitu hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Berdasarkan hasil penelitian CIFOR, desentralisasi hanya menghasilkan “raja-raja” baru pada tingkatan daerah. Bahkan berkembang anekdot yang cukup nge-trend tentang definisi desentralisasi adalah transfer of corruption from central to local government. Bila diterjemahkan secara bebas; berpindahnya korupsi yang semula berada di tingkat pusat menjadi korupsi di tingkat daerah.

Kenyataan inilah yang dikatakan sebagai peradaban semu menuju Pseudo Civilization (peradaban semu). Soeharto hanya memberikan kekeyangan sesaat begitupun sistem desentralisasi tidak mengajak kita menuju titik terang. Sentralisasi dipenuhi dengan praktik korupsi dan begitupun halnya dengan desentralisasi. Konsekuensi tak beranjak dari kesemuan menuju ke kesemuan adalah karena kita kerap menghancurkan bangunan peradaban yang telah dibangun oleh generasi sebelumnya dan kemudian kita kembali membangun peradaban dari pondasi.

Desentralisasi bukanlah sebuah sistem cerdas yang diciptakan untuk menjadi solusi atas permasalahan kehutanan. Melainkan hal tersebut hanyalah merupakan penolakan (antitesa) dari sistem sebelumnya yaitu sentralisasi. Tak penting sentralisasi, desentralisasi, reformasi ataupun revolusi! Yang paling penting sekarang adalah sebuah rencana pengelolaan hutan yang tepat, terencana dan terpadu. Mari belajar dari masa lalu dengan melihat sejarah bangsa ini secara utuh.

0 komentar Kamis, 06 November 2008

Muhammad Robi Qawi

Sekretaris Jenderal JIMMKI Pusat periode 2007-2009

______________________________________________

“Merdeka 63 tahun Indonesia!. Mari kita nikmati sebuah nasi tumpeng. Nasi dari beras Vietnam, tempe dari kedelai Amerika, abon dari daging Australia, buah pisang dari Brazil, bawang putih dari Cina, garam dari India, bendera dari kertas Skotlandia, dan bayar tumpeng Via Bank Singapura. Tapi kita tetap bangga karena tampah dan beseknya terbuat dari bambu asal Indonesia. Merdeka!”

Banyak mimik yang kemudian muncul diparas setiap orang pasca mendapat pesan singkat (sms) ini. Sms yang beredar pada saat moment komerdekaan Indonesia tiba beberapa waktu lalu. Tanpa pernah mengerti siapa yang pertama kali meng-create sms ini, terus saja sms ini di forward. Mungkin lantaran mampu menggelitik jenak-jenak nurani kita sebagai bangsa agraris. Pastipun anda berpikir sms tersebut adalah sesuatu yang menarik, lalu anda menuliskannya dalam handphone dan kemudian menge-Save-nya dengan cita-cita akan forwardnya, pada saat momentum kemerdekaan Negara ini tiba tahun depan. Pesan singkat ini akan terus berputar berkeliling nusantara. Kapan ia (sms) berhenti?

Hal itu terjadi saat semua ladang bambu kita, juga telah terkonversi menjadi gedung-gedung tinggi!!

Tak perlu kemudian kita menanggapi “sms hiperbola” tersebut secara hiperbola pula (berlebihan). Sms ini patut benar menjadi sebuah refleksi (pencerminan) bagi kita, seburuk itukah wajah kita saat ini?. Pengingat bagi kita untuk tidak terjebak pada sejarah dengan “kegantengan wajah” kita dahulu, bahwa Indonesia adalah Negara agraris yang telah mencapai swasembada pangan.

Jimms on reflection

Tulisan ini tidak di create menjadi sebuah tulisan ilmiah layaknya tulisan-tulisan sebelum yang sudah dimunculkan di blog ini. Bahkan judul tulisan ini copy paste dari tulisan sebelumnya, semua idenya berlangsung spontanitas. Pasca membaca tulisan “refleksi jimmki tahun pertama” dan setelah membaca pesan singkat dari dolles (ketua umum JIMMKI periode 2007-2008) akan jimmki yang telah memasuki tahun keduanya. Happy birthday JIMMKI, Selamat milad.

Tak terasa waktu bergulir cepat, belum lama rasanya dimasjid kampus UGM itu. Kami dari berbagai universitas berkumpul untuk mendeklarasikan organisasi bernama JIMMKI. Antusiasme yang begitu hebat nampak dari wajah saudara-saudara kami dari berbagai daerah. Tak main-main pastinya, mereka datang menyebrangi pulau, dengan dana besar, pasti ada sebuah asa besar yang diharapkan. Pulau Kalimantanpun disebrangi, 3 hari 3 malam dengan menggunakan kapal laut oleh teman-teman kami dari UNTAN. Begitupun saudara-saudara kami dari UNMUL dan USU yang dengan kocek pribadi mereka datang ke Yogyakarta untuk turut mendeklarasikan JIMMKI. USU, UNILA, UGM, IPB, INSTIPER, UNWIN, UNTAN, UNMUL menjadi catatan para muasis dakwah kita di JIMMKI mengajarkan pada kita untuk bertadhiyah dan bersunguh-sungguh dalam dakwah.

Dua tahun JIMMKI sudah berumur. Sudah sebesar apakah tinggi kami saat ini? Seperti apakah wajah kami kini? Jangan-jangan wajah kami telah berjerawat dan penuh bercak sehingga tak nyaman dipandang? Atau disekeliling tubuh kami dipenuhi oleh berbagai macam benalu? Hingga perawakan kami menjadi begitukurus.

Rakyat butuh makan.

”Apa yang telah dilakukan JIMMKI selama ini?” seloroh penanya tatkala on Air di radio. Jawabku ”JIMMKI masih muda, baru berumur satu tahun... blablablabla. kemudian menyebutkan beberapa hal yang telah dilakukan. JIMMKI telah menjadi media ukhuwah antara rimbawan muslim ‘Se-Indonesia’, JIMMKI telah membangun jaringan dengan banyak kalangan, JIMMKI telah mengadakan seminar-seminar. Deeleldeelel. Tapi apakah jawaban prestasi tersebut mampu memuaskan penanya? Tidak! Rakyat butuh makan. Begitu tepatnya. Tak butuh seminar, tak butuh jaringan, tak butuh konsolidasi dan memperbanyak anggota. Hutan dan lingkungan ini, butuh kerja-kerja riil kita.

JIMMKI adalah bayi yang terlahir ditengah kompleksitas permasalahan negeri. Oleh karenanya meskipun bayi, JIMMKI harus sudah mengambil peran strategis untuk berkontribusi. Kita tak bisa menunggu mama selesai menyapih, kemudian kita belajar berjalan, masuk TK berlanjut SD, memasuki masa pubertas, remaja, kemudian dewasa. Sekali lagi, rakyat butuh makan sekarang, menunggu esok, berarti menunggu mereka mati.

Sebagai bayi,

Kaki kita masih lemah

jangankah berlari melangkah saja sulit

Namun, Bukan berarti

kita tak mampu mencapai tujuan kita

Karena ada juga yang siap memanggul kita

Begitupun mata kita,

tangan kita, pendengaran kita

Semuanya masih teramat lemah

Tapi bukan berarti

kita menyerah pada semua keterbatasan

Kita punya ketulusan,

kita punya keikhlasan,

keberanian, kesungguhan

Serta kita punya Ke-Iman-an

Wala tahinu wala tahzanu

Normative Conclusion

Jangan berkata “Ooo” selesai membaca tulisan ini, tapi ungkapkan “Aha”. Itu artinya anda siap bergerak.

Maksud saya dengan meangakhiri tulisan ini dengan sub-title Normative Conclusion (kesimpulan normative) sebab pada tulisan sama sekali saya tak mengemukakan gagasan pada wilayah mana kita musti bergerak. Terlebih memang kita sudah selesai melewati etape tersebut kala mukernas dahulu. Sebagai sebuah gerakan dakwah, wilayah jimmki teramatlah luas, yaitu “Mengkontekstualisasikan islam sebagai sebuah agama rahmatan lil a’lamin”. Jadi tidak ada alasan untuk kita tidak bergerak.

Tulisan ini diawali dengan masalah, ditengahi dengan tadhiyah dan dimaknai dengan pembentukan kesadaran akan siapa kita. Allah punya rencana menjadikan kita tarzan yang lahir pada abad ini, lahir ditengah kegersangan hijaunya hutan. Hal ini berarti Allah meminta kita menjadi embun penyejuk, menjadi sebuah oase bukan fatamorgana. Kita bukan tidak bisa bergerak, bukan juga tidak mempunyai ruang gerak, tidak juga bingung mau bergerak. Kita Cuma insan yang masih malu untuk bergerak. Rasionalitaslah yang membuat kita demikian –singkirkanlah rasionalitas Bung- mari kita berkhayal tanpa logika dan mewujudkannya dalam ruang-ruang nyata. Berfikir dan bergeraklah..!! Karena itu tanda kita manusia. Lets Move on.

0 komentar

Muhammad Luthfie

Ketua Departemen Media dan Opini JIMMKI Pusat periode 2007-2009

______________________________________________

Sebenarnya, permasalahan di dunia kehutanan terletak pada sebuah kata, yaitu politik. Rimbawan yang ribuan jumlahnya itu sebagian besar hanya ahli dalam hal teknis di bidangnya. Sedikit yang mau berkecimpung dalam dunia politik, padahal politik bisa dipakai untuk menyelamatkan hutan. Sekarang kita menyalahkan peraturan atau perundang-undangan yang telah di buat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ya kita hanya bisa mengeluh, gondok, dan lain sebagainya melihat kejahatan deforestasi yang dilegalkan.

Seharusnya, sebagai stakeholder kehutanan, kita mesti melek politik. Bayangkan, jika yang menjadi anggota DPR itu adalah adalah mafia-mafia dan buron-buron kehutanan, yang jadi menteri kehutanannya bekas cukong kayu illegal. Bayangkan jika rimbawan hanya asik bekerja dan terima gaji dari para penghancur hutan yang berkedok Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Kuliah sampai sarjana bahkan doktor hanya untuk jadi antek-antek penjahat ekologi. Cukup menjijikan.

Jarang kita melihat birokrat kehutanan yang jujur dan serius menyelamatkan hutan Indonesia yang semakin menyusut ini. Mereka malah sering seminar, lokakarya, diskusi, dan konferensi dengan sponsor pabrik-pabrik kayu atau kertas, setelah itu pulang dan tidur di atas tempat tidur mahal dari kayu jati. Mereka selalu berteriak lebih langtang dari pendemonya, mengingkari fakta-fakta kerusakan hutan yang dibeberkan kader-kader konservasi sejati. Dengan percaya diri mereka mengatakan bahwa tindakannya dibenarkan Undang-Undang (UU) Luar biasa sebuah UU, untaian kalimat dalam UU sangat efektif untuk menghancurkan sebagian besar hutan kita. Ditambah mereka-mereka para penjajah hutan yang buta UU juga buta etika. Merekalah penjahat konservasi sejati.

Solusi konkrit untuk menyelesaikan permasalahan di dunia kehutanan adalah: “Rimbawan harus melek politik.” Rimbawan tak perlu tabu lagi dengan yang namanya Partai, Paelemen, Undang-Undang (UU), dan lain sebagainya. Ingatkah kita nama-nama Menteri Kehutanan seperti Nur Mahmudi Ismail dan M.S. Kaban? Apakah mereka seorang rimbawan teknis? Yang hanya bisa kerja dilapangan, menjadi karyawan HPH, dan nurut apa kata cukong, serta bermanja-manja ketika hendak menerima gaji. Bukan. Sekali lagi bukan. Mereka adalah orang-orang politik pada dasarnya. Karena kesepakatan-kesepakatan politik mereka bisa menjadi Menteri Kehutanan.

Ketika rimbawan sudah melek politik, anda jangan kaget melihat hutan-hutan kita kembali seperti dulu. Walau bukan kita yang menikmati, namun yakinlah anak cucu kita akan mendoakan kita. Kita akan tersenyum di surga-Nya ‘insya Allah’ menyaksikan Indonesia kembali menjadi untaian Zambrud Khatulistiwa.

Ada satu lagi yang tak boleh terlewatkan, rimbawan harus mematuhi kode etik rimbawan. Khususnya pada poin pertama yang berbunyi: “Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Karena, menyelamatkan dan melestarikan hutan merupakan bentuk ketakwaan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi, selain melek politik, rimbawan juga mesti melek spiritual.■

0 komentar Minggu, 22 Juni 2008

Andhi Kurniawan

Anggota Departemen Pembinaan JIMMKI Pusat periode 2007-2009

______________________________________________

Sudah menjadi semacam diktum bahwasanya pemuda selalu mejadi bagian dari proses perubahan perjalanan sejarah suatu bangsa. Sebut saja Revolusi Rusia (1905 dan 1917), Revolusi Spanyol (1936), Revolusi Cina (1925-1927), Revolusi Aljazair (1954) hingga Revolusi Islam Iran (1979) bahkan sampai dengan di Indonesia 1966 dan 1998. Kesemua peristiwa tersebut tidak ada catatan sejarah yang luput menuliskan nama "pemuda".

Totalitas yang diberikan pemuda tidak hanya berupa pemikiran, rekayasa sosial atau proses penyadaran publik tetapi juga pada tingkatan ribuan darah tertumpah demi membela apa yang diyakini pemuda sebagai kebenaran dan keadilan. Kita menemui kasus seperti ini pada jaman sahabat Rasul, adalah Khalid bin Walid seorang pemuda dan juga panglima perang yang handal pada masa kekhalifahan Abu Bakar AshSidiq, namun ketika Khalifah digantikan Umar bin Khatab ra Khalid digantikan oleh anak buahnya, kemudian Khalid mengatakan "aku berjihad bukan untuk Umar tapi untuk Tuhannya Umar". Sebuah idealisme yang tertancap mendalam pada seorang pemuda tentang nilai tauhid.

Romantika-romantika heroiknya peran pemuda dalam mengawal sebuah nilai kebenaran masihkah kini terasa, pemuda masa kini sebagian besar hanya menjadi trouble maker pada kondisi masyarakat yang ada sebut saja kasus narkoba, miras, seks bebas dll. Kondisi seperti ini merupakan sesuatu yang anomali dari peran pemuda yang sebenarnya. Realita seperti inilah yang sama-sama harus kita kembalikan kepada khitohnya, peran pemuda sebagai agen perubahan, stok kepemimpinan masa depan dan pengawal nilai kebenaran harus kita tunjukkan terutama posisi kita saat ini sebagai rimbawan muda.

Dunia kehutanan yang semakin terpuruk, praktek KKN di Manggala wanabhakti, monopoli HPH bukan terus untu disesali akan tetapi harus diberikan penyelesaian yang solutif, mungkin terlalu sering kita mengikuti seminar, diskusi yang jargonnya ditujukan untuk perbaikan kehutanan, akan tetapi diakhir diskusi hanya meninggalkan ruangan dengan "kotak snack" yang dibiarkan begitu saja tanpa ada sebuah konklusi yang jelas dalam seminar tersebut.

Rasanya kita patut merenungkan apa yang disampaikan Muhammad Hatta "Selama pemuda masih hidup dengan cita-cita untuk membangun Indoneisa di masa datang, yang ia tenggelam dalam romantisme politik untuk menggambarkan wajah Indonesia di masa mendatang, selama itu pula ia dapat menentukan rolnya atau bagiannya dalam perjuangan membangun Indonesia". Tanah air ini masih memiliki kita para rimbawan muda yang komitmen terhadap revitalisasi dunia kehutanan dan semangat kesabaran revolusioner untu menjadi pengawal proses perbaikan bangsa ini, pertanyaannya adalah seberapa lama komitmen kita saat ini dapat kita pertahankan? Jawabannya adalah seberapa besar motivasi kita untuk berada dalam barisan rimbawan ini dan di kampus inilah ke depan jati diri kita akan terbentuk karena disini menjadi kawah candradimuka yang menggodog pemimpin-pemimpin masa depan bangsa.

0 komentar Rabu, 21 Mei 2008

Desi Nuraini

Anggota Departemen Media dan Opini JIMMKI Pusat periode 2007-2009

______________________________________________

“Dan ingatlah ketika Dia menjadikan kamu khalifah-khalifah setelah kaum ‘Ad dan menempatkan kamu di bumi. Di tempat yang datar kamu dirikan istana-istana dan di bukit-bukit kamu pahat menjadi rumah-rumah. Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu berbuat kerusakan“ (QS. Al-A’raf ;74)

Dari ayat diatas seharusnya kita harus sadar dan selau mensyukuri nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada kita. Banyak permasalahan yang timbul akibat kerakusan manusia atau karena manusia yang tidak mampu untuk mensyukuri nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada kita. Contohnya saja illegal logging atau yang lebih besar lagi holocous yang terjadi di Negara kita. Atas alasan alih guna lahan dan penyumbang devisa negara terbesar maka pemerintah seenaknya saja mengadakan penebangan besar-besaran terhadap hutan kita tanpa berfikir panjang akan dampak yang akan terjadi di masa depan. Padahal dampak-dampak yang akan ditimbulkan nanti akan dirasakan oleh anak cucu kita dan bahkan bumi kita tercinta. Mungkin nanti anak cucu kita hanya dapat mendengarkan cerita tentang keindahan,kegagahan dan keperkasaan hutan Indonesia. Hutan yang merupakan paru-paru dunia yang kini mulai lumpuh karena ego sebagian orang.

Lihat apa yang terjadi

Ada hutan dan satwanya

Sedang punah atau mati

Memang adalah bencana

(Syair oleh Syeh Fattah)

Menurut organisasi pangan dan pertanian, untuk periode 2000-2005, Indonesia lah perusak hutan tercepat didunia. Bagaimana tidak? kehutanan Indonesia kini telah berubah, dapat kita lihat diatas peta 4 dekade lalu tampak hijau dan kini didominasi oleh warna merah dan kuning. Hal ini dapat diartikan bahwa tegakan yang dulu tumbuh lebat kini berkurang bahkan hilang. Justru lokasi tersebut kini berubah menjadi kawasan gundul atau padang ilalang. Ada juga kawasan yang semula di tumbuhi oleh pohon-pohon besar kini disulap menjadi kebun kelapa sawit,kopi atau kakau yang ada kemungkinan beberapa tahun lagi akan ditebang jika sudah tidak produktif.

Saat ini pun sering terdengar berita mengenai global warming baik di Koran,radio,maupun televisi. Terjadinya pemanasan bumi ini merupakan masalah lain dari lingkungan hidup yang cukup mendatangkan keprihatinan banyak pihak . Persoalan ini justru disebabkan oleh prilaku manusia itu sendiri. Contohnya saja illegal loging yang sampai saat ini masih terus terjadi. Penggundulan hutan secara serampangan ini tidak mengindahkan norma-norama hukum maupun agama. Selain itu lemahnya penegakkan hukum membuat para pembalak atau cukong kayu dan teroris lingkungan secara bebas melakukan aksinya untuk membabat hutan dan mengambil kekayaan alam kita. Penegakan hukum ini berkaitan dengan kepemimpinan orang-orang diatas. Kalau saja para pimpinan bertindak adil tanpa pandang bulu pasti bencana-bencana saat ini sudah mulai berkurang.

Dari permasalahan –permasalahan dan dampak yang telah terjadi saat ini mungkin seharusnya pemerintah perlu membuat sebuah monument yang dapat dijadikan sebagai saksi untuk anak cucu kita bahwa dulu di negara Indonesia pernah melakukan holocous besar-besaran sehingga negara kita mendapat predikat sebagai perusak hutan tercepat didunia. Monument itu nantinya akan mengingatkan anak cucu kita agar tidak mengulangi kebodohan yang dilakukan oleh orang-orang sebelumnya.

Namun semua permasalahan-permasalahan itu kembali ke diri kita sendiri, bagaimana cara kita menyikapi dan bagaimana kita bersyukur kepada Allah atas sgala yang diberikan Nya. Karena sesungguhnya Allah tidak menyukai sgala yang berlebih-lebihan.

Mulai saat ini yang masih memiliki rasa cinta dan tanggung jawab pada linkungan dan bumi ini mari bersama-sama memberikan kontribusi kita untuk menjaga dan melestari kan hutan demi anak cucu kita.

Nabi bersabda : “Barang siapa yang mempunyai sebidang tanah, maka hendaklah ditanaminya dengan tanaman-tanaman atau pepohonan." (H.R Bukhori)

0 komentar Rabu, 27 Februari 2008

Septa Dolestri

Ketua Umum JIMMKI Pusat periode 2006-2007

______________________________________________

Arungi meander, terapung di hutan hujan

Saat taiga menyapa ramah, kanopi memayungi

Semilir nada an gin, berseling epifit warna warni

Di saat aku menikmati, oh cantiknya suatu sudut bumi

Seperti kawasan Timur Tengah, hanya pasir dan bebatuan diselingi beberapa pohon palem dan kurma. Atau Afrika, hamparan gurun dengan sedikit perdu dan ilalang menguning. Atau tak perlu jauh-jauh, tengoklah Singapura, tetangga kita yang selalu berupaya menambah luas wilayahnya. Dan kalau itu terjadi dengan kita, Indonesia, tentu saban han Negara mi akan sibuk bernegosiasi untuk membiarkan puluhan tongkang mengangkut butiran halus untuk memperluas daratannya.

Membayangkan Indonesia tanpa hutan bukanlah hal yang sulit. Toh, di sebagian wilayah di dunia banyak yang tidak memiliki hutan. Mereka tetap bisa hidup dan tidak kekurangan oksigen untuk tetap membiarkan paru-parunya berfungsi. Sekali lagi tidak sulit. Hanya saja, persolannya bukan pada mudah atau susahnya membayangkan Indonesia tanpa hutan. Melainkan menyadari bahwa Indonesia adalah Negara yang salah satu unsur utamanya adalah hutan itu sendiri.

Hutan adalah warisan leluhur Indonesia yang sudah ada sejak lama. Ibarat budaya, hutan hadir sebagai bagian kehidupan yang turut membentuk budaya Indonesia itu sendiri. Orang pedalaman Borneo mungkin tidak akan memiliki budaya ritual yang menjaga kayu-kayu besar kalau mereka tidak hidup di hutan. Suku Dani tidak akan bertani secara nomaden kalau alam mereka adalah gurun pasir yang sama sekali tidak bisa ditumbuhi tanaman kecuali kaktus dan sejenisya. Membayangkañ Indonesia tanpa hutan adalah membayangkan nasib 60 juta rakyat Indonesia yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Demikianlah, hutan telah menjadi bagian dan Indonesia itu sendiri.

Maka, bayangan sementara saya adalah, tak ada hutan, tak ada Indonesia. Dengan kata lain, jika negara zamrud khatulistiwa mi hanya terdiri dan gurun tandus, lautan, dan pegunungan batu, maka bias jadi namanya bukan Indonesia, melainkan Indie, Indisia, Indona, atau nama lain yang itu bukan lagi l-N-D-Q-N-E-S-l-A.

Data terkini FAQ (Food and Agricultural Organization) 2006, menyebutkan luas kawasan hutan Indonesia menuju angka 88 juta ha, atau mengalami penyusutan sebesar 1,87 juta ha per tahun. Tentu bukan angka yang kecil. Apalagi jika kita perhatikan kerugian yang timbul akibat bencana yang sebagian besar berawal dan rusaknya ekosistem hutan. Banjir, longsor, dan ketidakseimbangan alam yang memaksa manusia untuk menanggung akibatyang tidak sedikit.

Membayangkan Indonesia tanpa hutan adalah membiarkan terjadinya degradasi, pengalihan fungsi hutan, atau konversi 96 juta ha hutan yang tersisa (MenHut, Februari 2007). Dengan laju kerusakan hutan 2,6 juta ha sampai 2,8 juta hektar, hutan Indonesia hanya akan bertahan 15 tahun lagi. Mencermati tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia, membuat kita semakin mudah untuk membayangkan Indonesisa tanpa hutan. Membayangkan Indonesia tanpa hutan membayangkan Indonesia 15 tahun lagi.

Membayangkan Indonesia tanpa hutan?! Saya juga tidak habis pikir, mengapa tertintas pikiran untuk membayangkan Indonesia tanpa kehadiran pohon-pohon hijau diselingi meander dan suara primate bersahutan itu. Sempat terlintas untuk menepisnya. Ah, hanya membuang waktu saja. Namun, setelah saya anaIisis lebih jauh, ternyata saya harus menemukan gambarannya. Setidaknya gambaran sederhana dari pikiran tentang Indonesia tanpa hutan.

Mungkin bagi sebagian orang adalah hal biasa. Namun, jika diamati Iebih jauh ada makna yang membutuhkan tafsiran mendalam atas kepemilikan hutan oleh suatu negara. Wajar bila seorang Chiko Mendez, memperjuangkan eksistensi hutan di pedalaman Brazil. Karena baginya hutan adalah harga diri. Pun halnya Jepang yang memiliki strategi: melindungi hutan-hutannya selama mungkin, walaupun itu berarti melakukan eksploitasi habis-habisan kawasan Asia Ten ggara dan Pasifik. Larmaan, 1988, menyebutkan sampai tahun 1980-an, 50% impor kayu dunia adalah impor Jepang. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan kawasan hutan Jepang agar tetap tebal.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Berbagai upaya telah dilakukan. Mulai dari penataan peraturan, pengembangan sumber daya manusia, melaksanakan seminar, Iokakarya, penerbitan buku dan sosialisasi. Namun, alih-alih memperbaiki hutan, justru laju penyusutan hutan kian hari mencemaskan. Rimbawan semakin terjebak dengan pragmatisme ideologi. Idealisme luntur seiring berpindahnya jambul toga ke kanan. Seminar dan Iokakarya tinggal tumpukan foto kopi makalah. Peraturan tak lebih sekadar formalitas agar pengelolaan hutan masih mendapat kucuran segar.

Jika ditelaah kembali upaya yang telah dilakukan bangsa ini dalam menjaga dan menyelamatkan hutan, belumlah sebanding dengan laju kerusakan hutan yang kian pesat. Perlu usaha yang lebih keras lagi. Usaha yang tak sekedar slogan, apa lagi basa-basi seminar sehari. Semangat pelestarian hutan haruslah dijadikan iklim kerja dari semua stakeholder kehutanan. Dibutuhkan peran riil dan gerakan bersama, sehingga takkan ada lagi kesempatan untuk sekadar membayangkan Indonesia tanpa hutan (saja).